Ada Namamu di Setiap Luka yang Tak Kubiarkan Sembuh

Tumbuh bersama, saling menggenggam rahasia dan mimpi sejak remaja. Tapi siapa sangka, pengkhianatan paling dalam justru datang dari tangan yang dulu paling erat memelukmu.

CERPEN

Permadani T.

6/1/20253 min read

Pict source: Pexels.com

Aku masih ingat sore itu. Hujan turun deras, membekap jalanan yang lengang, seolah langit sendiri hendak ikut menyimpan kenangan itu dalam diam. Aku duduk di pojok sebuah kafe kecil, menatap ponsel yang penuh dengan notifikasi dari orang-orang yang tak benar-benar mengenalku, tapi entah mengapa merasa berhak atas ceritaku. Di antara semua pesan itu, satu nama tak muncul—Kiki. Dan itu cukup bicara banyak. Ia tak lagi memiliki tempat di hidupku.

Kami bertemu saat kelas sepuluh. Dua gadis belasan tahun yang sama-sama menyukai novel fiksi, musik pop Korea, dan cokelat panas. Kiki, dengan caranya yang ceria namun rawan meledak, menjadi teman pertama yang menawarkanku tempat duduk saat aku terlambat di hari pertama sekolah. Senyumnya hangat, matanya berkilau. Aku jatuh nyaman dalam pertemanan itu, seolah dunia sedang berbaik hati padaku.

Tahun-tahun awal berjalan mulus. Kami tak terpisahkan. Ke mana ada Reyna, di situ pasti ada Kiki. Kami mengerjakan tugas bersama, saling bertukar rahasia, dan menyusun rencana masa depan dengan napas yang sama. Tapi, ada yang pelan-pelan berubah. Kiki sering kali menarik diri tanpa penjelasan. Kadang ia membalas pesanku dengan antusias, lain waktu ia bisa diam berhari-hari tanpa sebab. Aku belajar untuk tidak bertanya. Mungkin, pikirku waktu itu, begitulah caranya memproses dunia.

Namun aku keliru. Keheningan itu bukan tentang dirinya, tapi tentang aku yang tak lagi ia terima hadir. Mulanya halus—komentar-komentar kecil yang menyentil. “Kamu sekarang kayak sok penting, ya.” Atau, “Jangan lupa sama yang nemenin kamu dari dulu.” Aku tertawa. Kupikir itu candaan. Tapi hatiku tahu, ada sesuatu yang patah.

Puncaknya datang saat aku menjalin hubungan dengan Arya, siswa berprestasi yang diam-diam kupuja sejak awal masuk sekolah. Kami menjadi pasangan yang cukup mencuri perhatian. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Tapi tidak Kiki. Ia menjauh, lagi. Kali ini lebih dingin dari sebelumnya. Matanya tak menatapku seperti dulu, ucapannya selalu menggantung, dan senyumannya—jika ada—terasa getir.

Aku mencoba bertanya. Ia bilang semua baik-baik saja. Tapi cara ia membalikkan badan sebelum aku selesai bicara, sudah cukup menjelaskan semuanya.

Waktu berlalu. Aku dan Arya berpisah selepas kelulusan. Hubungan itu kandas, seperti banyak hubungan masa muda lainnya. Ironisnya, Kiki kembali hadir. Seolah tak ada yang pernah retak. Ia menanyakan kabarku, mengajak bertemu, bahkan menertawakan kisah-kisah lama seakan masa-masa suram tak pernah terjadi. Dan aku—dengan hati yang terlalu ingin memaafkan—menerimanya kembali. Bukankah sahabat memang selalu menemukan jalan pulang?

Namun aku kembali salah.

Tahun-tahun dewasa menyibukkan kami dengan arah yang berbeda. Aku membangun karier di bidang kreatif, perlahan menemukan ritme hidup yang menenangkan. Kiki, entah bagaimana hidupnya berjalan, mulai aktif di media sosial—membagikan hal-hal yang kadang ganjil, kadang penuh insinuasi. Aku jarang menanggapi, hanya sesekali menyukai unggahannya demi menjaga hubungan yang sisa.

Lalu datang hari itu. Hari ketika aku mengumumkan pertunanganku dengan pria yang kini mengisi hatiku dengan penuh. Foto-foto kami tersebar, dibanjiri ucapan selamat. Tapi di antara keriuhan itu, sebuah akun anonim muncul dengan narasi kotor yang menuduhku merebut pacar orang, membocorkan “chat lama” yang dipelintir dari masa SMA, menyebutku ‘manipulatif’ dan ‘perempuan tanpa harga diri’.

Akun itu dengan cepat ramai dibicarakan. Banyak yang membelaku, beberapa diam, sebagian menikmati drama yang tak pernah mereka pahami. Aku terdiam. Lalu menelusuri asalnya.

Dan tak butuh waktu lama untuk tahu siapa dalangnya.

Akun itu terhubung dengan email yang pernah Kiki pakai—aku mengenalnya karena dulu kami saling berkirim tugas lewat surel. Mungkin ia lupa, atau terlalu percaya diri bahwa aku tak akan menyadari.

Aku tidak menghubunginya. Tidak kali ini. Tidak setelah berkali-kali kuberikan pintu maaf hanya untuk dijadikan tempat ia menaruh racun. Aku hanya menatap satu foto lama kami yang masih tersimpan di album: dua gadis berseragam, tertawa di bawah langit senja, tak tahu bahwa suatu hari nanti, tawa itu akan menjadi cerita yang menyesakkan.

Aku menghapus fotonya dari semua tempat. Bukan karena aku membencinya. Tapi karena aku tahu, menyimpan kenangan yang merusak, adalah bentuk pengkhianatan terhadap diriku sendiri.

Kepada orang-orang yang bertanya, aku hanya bilang: "Kami sudah tak satu arah."

Sederhana, tapi cukup untuk menjelaskan segalanya.

---

Beberapa tahun setelah pernikahanku, aku bertemu dengan seorang teman lama saat menghadiri seminar penulis muda. Ia menyapaku dengan antusias, lalu berkata dengan nada setengah berbisik, “Eh, Kiki sekarang katanya tinggal di kota yang sama denganmu. Dia buka kelas daring soal healing inner child.”

Aku tersenyum kecil. Irama waktu memang jenaka.

“Semoga dia benar-benar sembuh,” jawabku singkat.

Sebab aku tak pernah ingin balas dendam. Aku hanya ingin lepas. Dan aku rasa, pada titik ini, aku sudah benar-benar bebas darinya.

Aku tak membenci Kiki. Aku hanya memilih berhenti.

Berhenti berharap ia akan menjadi sahabat yang tak menyakitiku lagi.

Berhenti percaya bahwa semua luka bisa disembuhkan dengan sekadar nostalgia.

Dan yang terpenting, berhenti mengira bahwa aku wajib memelihara hubungan yang sudah lama mati, hanya karena kami pernah tertawa bersama di usia belasan.

---

Aku sering ditanya, bagaimana rasanya kehilangan sahabat yang tumbuh bersamamu?

Kupikir, itu seperti menanam pohon bersama seseorang. Kau menyiraminya, menjaganya, menanti buahnya. Tapi suatu hari, kau sadar bahwa orang yang bersamamu diam-diam menyuntikkan racun ke akar pohon itu. Dan saat daunnya mulai rontok, ia menyalahkanmu karena tak menjaga dengan cukup baik.

Maka kau belajar: bukan semua pohon layak dipertahankan. Beberapa memang harus dibiarkan tumbang, agar tanahnya bisa tumbuh hal baru yang lebih sehat.

Begitulah aku dengan Kiki.

Dulu aku menyayanginya sepenuh hati. Kini, aku menyayangiku lebih dari segalanya.

Editor: Permadani T.