Ayah Ada, Tapi Tak Pernah Hadir: Luka Anak dalam Pernikahan yang 'Utuh'

Pernikahan utuh ternyata tidak selalu menjamin kehadiran seorang ayah dalam hidup anak-anaknya. Banyak rumah tangga yang di atas kertas terlihat lengkap, ada ayah, ada ibu, ada anak-anak. Tapi secara emosional, kosong. Fenomena fatherless ini makin marak: ayahnya ada di rumah, tapi jiwanya entah di mana. Sibuk dengan pekerjaan, hobi, atau bahkan dunianya sendiri, membuat banyak anak tumbuh tanpa ikatan kuat dengan figur yang seharusnya menjadi panutan pertama mereka. Ironisnya, semua ini terjadi tanpa perceraian, tanpa perpisahan fisik, hanya kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti.

PARENTING

Permadani T.

4/28/20253 min read

Di mata banyak orang, keluarga yang utuh adalah segalanya. Ada ayah, ada ibu, ada anak-anak yang tertawa di ruang tamu—sebuah gambaran harmonis yang seolah menjadi standar kebahagiaan. Tapi kenyataannya, tidak semua keluarga yang utuh secara struktur benar-benar utuh secara jiwa.

Saat ini, kita melihat fenomena fatherless yang makin marak, bukan karena perceraian atau perpisahan, tapi karena ketidakhadiran emosional seorang ayah. Ayah ada di rumah, tapi hatinya entah di mana. Fisiknya ada, tapi jiwanya absen. Dan tanpa disadari, anak-anak tumbuh dengan luka sepi yang perlahan membentuk masa depan mereka.

Bukan Sekadar Tidak Ada, Tapi Tidak Terasa
Banyak orang berpikir bahwa fatherless hanya terjadi ketika ayah meninggalkan rumah atau keluarga bercerai. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Fatherless juga terjadi ketika ayah secara fisik hadir, tetapi emosionalnya menghilang. Anak-anak melihat ayah mereka setiap hari, tapi merasa asing. Mereka merindukan sentuhan, perhatian, pengakuan, yang sering kali tidak mereka dapatkan.

Fatherless ini bahkan lebih sulit dikenali, karena dari luar semua tampak baik-baik saja. Tidak ada drama perceraian. Tidak ada pertengkaran besar. Tapi di dalam hati anak, ada rasa kosong yang tak terucapkan.

Di Mana Letak Salahnya?
Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang membuat seorang ayah yang tinggal serumah dengan anak-anaknya justru menjadi sosok yang paling jauh?

Ada beberapa faktor yang sering kali menjadi penyebab:
• Kesibukan yang Berlebihan
Tuntutan ekonomi mendorong banyak ayah bekerja keras, bahkan sampai mengorbankan waktu bersama keluarga. Lembur, proyek tambahan, bisnis sampingan, semuanya dilakukan demi kehidupan yang lebih baik. Tapi tanpa sadar, mereka membayar harga mahal: hubungan yang renggang dengan anak-anak.

• Pelarian ke Dunia Lain
Bukan hanya pekerjaan. Banyak ayah melarikan diri ke dunia hobi, game, olahraga, atau bahkan media sosial. Bukannya membangun koneksi dengan anak, waktu luang mereka habis untuk hal-hal yang memberi kesenangan pribadi.

• Budaya Patriarki yang Mengakar
Di banyak budaya, peran ayah masih dipandang semata-mata sebagai pencari nafkah. Mengurus anak, mendengarkan cerita mereka, atau hadir dalam momen-momen kecil sering dianggap "urusan ibu". Padahal, keterlibatan emosional ayah sama pentingnya.

• Luka Batin yang Belum Disembuhkan
Tak sedikit ayah yang sendiri tumbuh dalam keluarga yang kering emosi. Karena tidak pernah belajar bagaimana menjadi ayah yang hangat, mereka tanpa sadar mengulangi pola yang sama.

Ada Sosok, Tapi Tak Ada Ikatan
Banyak anak-anak tumbuh dengan luka yang tidak kasat mata. Mereka tidak bisa menunjuk langsung apa yang salah, karena secara teknis ayah mereka "selalu ada". Tapi hati mereka tahu: ada yang kurang. Ada ruang kosong yang seharusnya diisi oleh sosok ayah, bukan hanya kehadiran fisik, tapi juga pelukan, obrolan, dukungan, dan validasi.

Dalam jangka pendek, anak-anak mungkin menjadi pendiam, menarik diri, atau malah memberontak. Mereka merasa tidak dipahami, tidak cukup berarti untuk diperhatikan.

Dalam jangka panjang, luka ini membentuk pola hidup. Sulit percaya pada orang lain, kesulitan menjalin hubungan intim, atau mencari kasih sayang dari sumber-sumber yang salah. Ada rasa lapar akan pengakuan dan cinta, yang berakar dari kehilangan figur ayah sejak dini.

Bukan Soal Durasi, Tapi Kualitas
Menjadi ayah yang hadir bukan berarti harus 24 jam di rumah tanpa bekerja. Bukan soal berapa lama waktu yang dihabiskan, tapi seberapa hadir kita di dalam waktu itu.
Satu jam ngobrol sambil mendengarkan cerita anak tentang hari mereka bisa lebih bermakna daripada seharian di rumah sambil sibuk dengan ponsel.
Memeluk mereka sebelum tidur, datang ke acara sekolah, ikut main sepeda bersama di sore hari. Hal-hal kecil ini membangun ikatan yang tak tergantikan.

Anak-anak tidak butuh ayah yang sempurna. Mereka hanya butuh ayah yang sungguh-sungguh peduli. Ayah yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian. Ayah yang tidak menghakimi saat mereka menangis. Ayah yang mau menunjukkan bahwa mereka berharga.

Menghadirkan Diri Secara Utuh
Bagaimana caranya seorang ayah bisa benar-benar hadir?
• Mendengarkan Tanpa Distraksi
Saat anak bicara, hentikan dulu pekerjaan. Tatap mata mereka. Dengarkan. Bukan sekadar mendengar, tapi benar-benar hadir dalam percakapan.
• Memberi Waktu Khusus
Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas bersama anak, walaupun hanya sebentar. Membaca buku, bermain bola, menggambar bersama. Kegiatan sederhana yang membuat mereka merasa dicintai.
• Mengungkapkan Cinta Secara Verbal dan Fisik
Banyak ayah merasa canggung mengatakan "aku sayang kamu". Tapi kata-kata itu penting. Pelukan, tepukan di punggung, senyuman hangat—semuanya membangun rasa aman.
• Memberikan Dukungan Emosional
Ajari anak-anak bahwa semua perasaan mereka valid. Bahwa tidak apa-apa merasa sedih, marah, atau takut. Jadilah tempat yang aman untuk mereka berbagi.

Sudahkah Aku Hadir Sepenuhnya?
Menjadi ayah yang hadir adalah perjalanan panjang. Tidak selalu mudah. Kadang kita lelah, kadang kita sibuk, kadang kita merasa tidak tahu harus mulai dari mana.
Tapi satu langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Mengucapkan "selamat pagi" sambil tersenyum. Menanyakan kabar mereka saat pulang sekolah. Memberikan pelukan hangat sebelum tidur.

Semua itu sederhana, tapi membekas. Anak-anak tidak akan selalu mengingat semua hadiah mahal yang diberikan oleh orang tuanya. Mereka tidak akan selalu mengingat betapa kerasnya ayah mereka bekerja, betapa banyak uang yang dihasilkan. Yang akan mereka ingat adalah apakah ayah ada di sana saat mereka butuh. Apakah mereka merasa dicintai. Apakah mereka merasa berharga.

Karena pada akhirnya, kehadiran kita adalah warisan terbesar yang bisa kita berikan.
Fatherless bukan hanya tentang kehilangan sosok ayah karena perceraian atau kematian. Ini tentang kehilangan koneksi emosional dengan sosok yang seharusnya paling dekat.

Anak tidak butuh keluarga yang hanya terlihat utuh dari luar. Anak membutuhkan keluarga yang benar-benar utuh, penuh cinta, perhatian, dan kehadiran sejati.
Menjadi ayah yang hadir adalah pilihan sadar yang harus dibuat setiap hari.

Mungkin tidak sempurna. Mungkin banyak salah langkah. Tapi selama ada niat dan usaha untuk berubah, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anak kita.
Karena anak-anak tidak menuntut ayah yang sempurna. Mereka hanya ingin tahu bahwa mereka berarti.