Bolong: 309 Hari Sebelum Tragedi Berdarah — Saat Horor Menjadi Cara Baru Bangsa Menatap Luka Masa Lalu

Horor menjadi cara baru menatap luka masa lalu. Bolong mengajak penonton menyelami misteri dan trauma sejarah lewat kisah supernatural era 60-an.

FILM

Redaksi Fasamedia

10/30/20253 min read

Fasamedia — Di balik deru layar lebar serta gemerlap industri sinema yang terus berkembang, ada satu ruang sunyi yang jarang diusik: ruang tempat bangsa menyimpan trauma kolektifnya. Trauma itu tidak pernah benar-benar hilang, hanya berpindah bentuk—menjadi bisik yang diwariskan, menjadi cerita yang tidak dituliskan, atau sekadar menjadi bayangan yang mengendap di benak generasi ke generasi. Indonesia menyimpan banyak ruang sunyi semacam ini, dan salah satu pembuat film yang berani menyentuhnya adalah Hanung Bramantyo.

Awal 2026 nanti, dunia akan menyaksikan bagaimana Hanung menghadirkan cara baru untuk menatap masa lalu. Film terbarunya, “Bolong: 309 Hari Sebelum Tragedi Berdarah”, akan melakukan pemutaran perdana di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2026 sebagai bagian dari seleksi resmi festival tersebut. Dalam siaran pers, dikonfirmasi bahwa film ini “resmi terpilih untuk tayang perdana (world premiere) di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2026” —sebuah prestasi yang tidak hanya membanggakan, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai sejarah, memori, dan ketakutan kolektif bangsa.

Horor sebagai Bahasa untuk Bicara tentang Luka

Pada pandangan pertama, menyentuh sejarah kelam Indonesia lewat horor mungkin terdengar riskan. Namun, di tangan Hanung, horor bukan sekadar genre untuk menakut-nakuti. Horor menjadi bahasa simbolik yang justru memberi ruang aman bagi penonton untuk melihat trauma masa lalu tanpa harus menatapnya secara langsung.

Dalam siaran pers disebutkan bahwa film ini merupakan “sebuah film horor supernatural yang mengambil latar menegangkan di Indonesia era 1960-an” . Alih-alih menceritakan sejarah secara dokumentatif, Hanung mengambil pendekatan metaforis. Ia merangkai ketakutan, mitos, dan kepercayaan menjadi cermin untuk memaknai ulang kegelisahan generasi masa kini terhadap masa lalu bangsa.

Era 1960-an bukan hanya latar; ia adalah karakter itu sendiri. Sebuah masa penuh propaganda, kecurigaan, dan rasa saling mengintai—iklim psikologis yang sangat mudah diterjemahkan menjadi horor di layar. Hanung menangkap esensi itu, lalu mengolahnya menjadi kisah yang memadukan unsur sejarah dengan mistisisme Jawa yang pekat.

Narasi Misterius: Luka yang Berulang Setiap Tanggal 30

“Bolong” mengajak penonton memasuki Desa Lobang Buaya, ruang geografis yang pada dirinya sendiri sudah sarat makna historis. Di desa inilah rangkaian kematian misterius terjadi. Para korban ditemukan tak bernyawa, masing-masing pada tanggal 30 setiap bulan—dan pada tubuh mereka terdapat lubang serta pesan-pesan aneh yang tertulis di wajah.

Siaran pers menggambarkan bahwa pola kematian itu “perlahan mengungkap sebuah rahasia kelam yang terkait dengan kepercayaan, propaganda, dan sisi paling gelap dari sejarah bangsa” .

Motif pembunuhan yang berulang setiap tanggal 30 terasa seperti simbol bahwa luka sejarah bangsa ini—khususnya yang berhubungan dengan 30 September—bukan sesuatu yang selesai dalam satu hari. Trauma itu berulang, diwariskan, dan menghantui dari generasi ke generasi.

Hanung tidak menyentuh sejarah secara gamblang. Ia memilih metafora. Ia tidak menunjuk pelaku atau korban, tetapi menunjukkan rasa—serupa dengan bagaimana ingatan kolektif bekerja: kabur, fragmentaris, dan penuh simbol.

IFFR: Panggung bagi Film yang Berani Bicara

IFFR dikenal sebagai festival yang memberi tempat bagi film-film yang berani menantang, melawan arus, dan menawarkan pendekatan artistik yang segar. Bahwa film ini terpilih, menunjukkan bahwa dunia internasional memandang “Bolong” tidak sekadar sebagai film horor Indonesia, tetapi sebagai karya seni bernilai budaya yang layak diperbincangkan.

Fakta bahwa ini merupakan film kedua Hanung yang masuk seleksi resmi IFFR juga berarti konsistensinya sebagai sutradara yang mampu melahirkan karya dengan kekuatan naratif, relevansi kultural, dan keberanian artistik. Sebelum ini, “Gowok: Kamasutra Jawa” juga pernah hadir di festival yang sama .

Di panggung global, Bolong Hanung Bramantyo akan bersanding dengan karya-karya dari sineas dunia yang menghadirkan horor sebagai suara sosial—sejalan dengan tren sinema modern yang melihat horor sebagai alat refleksi, bukan hanya rekreasi.

Para Wajah di Balik Ketakutan dan Simbol

Meski premis film ini berlapis, Hanung tidak melupakan kekuatan karakter. Para aktor yang terlibat menghidupkan ketegangan dan misteri dengan sentuhan manusiawi. Baskara Mahendra, Carissa Perusset, Khiva Iskak, dan Anya Zen menjadi empat wajah yang akan membawa penonton menyelami ketakutan yang tak terlihat—bukan hanya takut pada hantu, tetapi takut pada memori dan rahasia yang ingin dilupakan .

Dengan gaya sinematik Hanung yang kerap memadukan realisme dengan spiritualitas, film ini berpotensi menghadirkan visual yang tidak hanya mencekam, tetapi juga puitis dan kontemplatif.

Ketakutan yang Menghubungkan Generasi

“Bolong” tampaknya akan menuntun penonton bukan pada rasa takut karena kejutan visual, melainkan pada ketakutan yang lebih sunyi: ketakutan akan kebenaran. Ketakutan bahwa apa yang bangsa coba kubur tidak benar-benar terkubur. Ketakutan bahwa masa lalu bisa hidup kembali kapan saja—karena kita belum selesai menghadapinya.

Inilah esensi mengapa film seperti ini penting. Ia bukan hanya film; ia adalah percakapan. Ia mengundang penonton untuk merasakan, bukan menghakimi. Ia memberi ruang bagi ingatan yang terputus untuk berbicara kembali.

Menanti Penayangan di Tanah Air

Penayangan perdana di IFFR hanyalah awal. Film ini diproyeksikan akan hadir di bioskop Indonesia setelah itu. Siaran pers menyebutkan bahwa penayangan di Rotterdam adalah langkah awal sebelum film tersebut dapat disaksikan oleh penonton di Tanah Air .

Selama menunggu tanggal rilis, penonton dapat mengikuti perkembangan terkait film ini melalui akun media sosial resmi Adhya Pictures .

Pada akhirnya, “Bolong: 309 Hari Sebelum Tragedi Berdarah” mengingatkan kita bahwa sejarah tidak pernah benar-benar mati. Ia mungkin membisu, tetapi gema dari ruang sunyi itu akan tetap mencari jalan untuk terdengar—dan kali ini, ia berbicara melalui horor.

Kontributor: Sarah Limbeng

Editor: Permadani T.