Bukan Sekadar Horor: Remake ‘Munafik’ Indonesia Angkat Nilai Kejujuran dan Pergulatan Batin

Remake “Munafik” hadir bukan hanya menakutkan, tapi menyentuh sisi kemanusiaan lewat pesan kejujuran, pergulatan batin, dan nilai spiritual.

FILM

Redaksi Fasamedia

10/31/20253 min read

Fasamedia — Di tengah derasnya film horor yang mengandalkan jumpscare dan kengerian visual, hadir sebuah proyek yang mencoba mengambil jalur berbeda. Remake film horor fenomenal “Munafik” versi Indonesia, yang resmi diumumkan pada 29 Oktober 2025 di Jakarta, bukan sekadar ingin membuat penonton terkejut dan berteriak ketakutan. Ada pesan moral, nilai spiritual, dan refleksi kemanusiaan yang ingin dibawa ke ruang batin penonton.

Unlimited Productions bersama Skop Productions (Malaysia), berasosiasi dengan A&Z Films, Komet Productions, dan Legacy Pictures, memperkenalkan proyek ini sebagai sebuah karya yang bukan hanya menegangkan, tetapi juga ingin menggerakkan hati. Dalam konferensi pers yang terasa hangat dan penuh optimisme, tim produksi membagikan visi yang jauh lebih luas dari sekadar membuat ulang film horor sukses.

Horor yang Mengajak Merenung

“Munafik” bukan film baru bagi pencinta sinema horor. Versi orisinalnya yang dirilis di Malaysia pada 2016, karya Syamsul Yusof, dikenal sebagai horor yang menyentuh sisi spiritual dan moral, bukan hanya menampilkan sosok gaib dan adegan menyeramkan. Kata “munafik” sendiri membawa makna mendalam: tentang ketidaksesuaian antara hati, ucapan, dan tindakan.

Makna itu pula yang ingin dibawa ke dalam versi Indonesia. Produser Unlimited Productions, Oswin Bonifaz, menyampaikan bahwa proyek ini digarap dengan keseriusan dan kehati-hatian karena menyangkut nilai yang sensitif bagi banyak orang.

“Ini IP besar yang kami kerjakan serius sejak lama. Harapannya, versi Indonesia berdiri kuat dengan jati dirinya sendiri bukan menggantikan, melainkan menghadirkan pengalaman baru yang membanggakan penonton Indonesia,” ujar Oswin.

Ucapannya terasa bukan sekadar janji produksi. Oswin menyiratkan bahwa film ini ingin menyentuh area kejujuran personal, sebuah tema yang dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia saat ini.

Menghadirkan Ruh Kisah, Bukan Sekadar Meniru

Sutradara Guntur Suharjanto kemudian menambahkan dimensi penting dari pendekatan kreatif yang ia bawa ke dalam film. Menurutnya, remake “Munafik” harus tetap menghormati kekuatan cerita aslinya, tetapi juga mampu berbicara dalam bahasa budaya Indonesia.

“Saya ingin membuat horor yang bukan sekadar menakut-nakuti, tapi punya pesan personal yang kuat. Versi Indonesia akan berakar pada kultur kita dari karakter, laku spiritual, hingga konteks sosial tanpa kehilangan ruh kisah aslinya,” ujarnya.

Guntur menyadari bahwa spiritualitas masyarakat Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Ada tradisi, nilai kekeluargaan, ritual ibadah, dan laku sosial yang begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu, menurutnya, menjadi pintu masuk yang kaya untuk membangun rasa dekat antara film dan penontonnya.

Ia juga menekankan bahwa istilah “munafik” dalam film ini akan digambarkan secara lebih luas, bukan hanya dalam konteks agama. Film ini ingin menunjukkan bahwa sifat munafik hadir di banyak ruang hidup—keluarga, pekerjaan, pertemanan, bahkan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri.

“Ketika ucapan tidak selaras dengan hati dan tindakan, di situlah horor batin sesungguhnya,” kata Guntur dalam nada reflektif.

Kolaborasi Hangat Dua Negeri Serumpun

Momentum konferensi pers ini terasa seperti jabat tangan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Datuk Dr. Yusof Haslam, produser senior Malaysia yang hadir mewakili Skop Productions dan sang putra Syamsul Yusof, terlihat begitu antusias.

“Bahasa dan budaya kita saling memahami. Kolaborasi Indonesia-Malaysia menjadi tantangan sehat untuk sama-sama menghadirkan karya terbaik,” ujar Datuk Yusof.

Ucapan itu terasa tulus dan mengandung harapan besar. Ia percaya bahwa kedua negara punya kekuatan masing-masing yang bisa saling melengkapi, terutama ketika membahas karya bercerita tentang nilai, keyakinan, dan kehidupan spiritual masyarakat Asia Tenggara.

Datuk Yusof juga mengingatkan satu hal yang mengena: kejujuran dalam berkarya. Baginya, film ini bukan hanya harus berhasil secara teknis atau komersial, tetapi juga harus membawa kebenaran dalam penyampaian nilai.

Menulis Horor Bernilai, Bukan Sekadar Seram

Tantangan terbesar kemudian jatuh pada penulis naskah, Ali. Ia tidak menutup-nutupi ekspektasi besar yang membebani sejak awal proses penulisan.

“Ekspektasi itu yang paling menantang. Syukurlah prosesnya sangat terbantu oleh produser dan sutradara, sehingga dalam waktu relatif singkat naskah bisa terbentuk dengan arah yang jelas,” ungkapnya.

Ali ingin memastikan penonton Indonesia tetap merasakan kekuatan emosional yang pernah menghantui penonton Malaysia. Namun ia juga ingin menambah elemen lokal yang membuat penonton bisa berkata “Ini kisah kita.”

Ali memandang horor spiritual memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Indonesia, karena dekat dengan nilai keyakinan dan keseharian. Baginya, rasa takut terbesar seringkali bukan pada sosok tak kasat mata, melainkan ketika seseorang berhadapan dengan dosa, rasa bersalah, rahasia, atau kebohongan yang ia sembunyikan.

Para Pemeran dan Harapan Penonton

Dalam kesempatan itu, tim juga memperkenalkan jajaran pemeran yang akan menghidupkan karakter versi Indonesia. Ada Arya Saloka sebagai Adam dan Acha Septriasa sebagai Fitri—dua nama yang dikenal mampu menyampaikan kedalaman emosi dan konflik batin dengan kuat. Kehadiran mereka memberi sinyal bahwa film ini akan menonjolkan sisi kemanusiaan dan perjalanan karakter, bukan hanya horor visual.

Para pemain lain yang diperkenalkan, seperti Donny Damara, Nova Eliza, Dimas Aditya, Izabel Jahja, Elvira Davinamira, Oce Permatasari, dan Faqih Alaydrus, juga menambah kekuatan ensemble film yang terlihat matang dan berkarakter.

Lebih dari Hiburan

Bagi sebagian orang, menonton horor adalah bentuk hiburan untuk melepas penat. Namun film ini berambisi membawa penonton pada perjalanan batin yang mungkin akan meninggalkan renungan setelah lampu bioskop menyala kembali.

Remake “Munafik” ingin menjadi pengingat bahwa kejujuran dengan diri sendiri adalah pondasi ketenangan. Ketika manusia mulai berjarak dari kejujuran, di situlah horor—baik yang kasat mata maupun yang batiniah—bisa mengambil alih.

Film ini tidak hanya ingin membuat penonton merinding, tetapi juga mungkin bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah aku jujur pada diriku hari ini?

Kontributor: Sarah Limbeng

Editor: Permadani T.