Danyang Wingit Jumat Kliwon: Ketika Ambisi Manusia Lebih Mengerikan dari Makhluk Gaib
Lebih dari sekadar horor, film ini mengajak kita merenungi nilai budaya, batas ambisi, dan apa yang sebenarnya kita korbankan untuk terlihat “lebih dari manusia biasa”.
FILM


Fasamedia — Ada horor yang membuat kita menjerit. Ada horor yang membuat kita tertawa karena kaget. Tapi ada juga horor yang meninggalkan ruang hening di dada — membuat kita menatap refleksi diri sendiri.
“Danyang Wingit Jumat Kliwon” termasuk kategori yang terakhir.
Ia tidak hadir hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai pengingat: bahwa terkadang, yang paling kita takuti bukanlah makhluk yang tak kasat mata… melainkan ambisi manusia yang kehilangan akal sehatnya.
Antusiasme yang Membuktikan: Kita Rindu Horor yang Berjiwa
Beberapa jam setelah konferensi pers, lebih dari 3.000 tiket Gala Premiere langsung ludes.
Fenomena cepat ini bukan sekadar angka — ini adalah sinyal bahwa penonton Indonesia siap menerima horor yang lebih berkelas, lebih berbudaya, dan lebih berisi.
Di tengah maraknya film horor komersial, muncul karya yang bernapas dari akar budaya. Rasanya seperti seseorang membuka kembali pintu lama yang berdebu, lalu mengajak kita masuk melihat cahaya lain di baliknya.
Bukan Sekadar Teror, Tapi Cermin untuk Jiwa
Film ini mengikat unsur ritual, pusaka, seni wayang, hingga mitos danyang — namun bukan untuk menakut-nakuti semata.
Ada pesan moral yang memukul pelan namun tajam:
“Hasrat akan kekuasaan dan keabadian dapat mengikis akal sehat; pada titik itu, ‘hasrat manusia’ tampil lebih menakutkan daripada perwujudan iblis itu sendiri.”
Kadang, demi terlihat kuat, dihormati, unggul di mata dunia… kita lupa bahwa segala sesuatu yang berlebihan ada bayarnya. Dalam film ini, harga itu adalah kemanusiaan.
Citra dan Perjalanan Menjadi Sinden: Sebuah Simbol tentang Suara dan Pengorbanan
Di balik kisah mencekamnya, ada tokoh bernama Citra, diperankan oleh Celine Evangelista.
Ia datang ke sebuah padepokan sebagai sinden — profesi yang tak hanya bernyanyi, tetapi juga menghidupkan cerita dengan suara. Namun, tanpa ia sadari, suaranya bukan untuk menghidupkan—melainkan dikorbankan.
Celine menjalani proses pendalaman peran yang tidak ringan.
“Saya menonton pertunjukan wayang secara langsung dan riset dari banyak aspek, karena nembang itu tidak mudah. Proses belajarnya cukup menantang, tapi justru itu yang membuat saya tertarik mengambil film ini. Saya juga ingin membuat orang-orang lebih peduli terhadap kesenian tradisional,” ujar Celine.
Menyaksikan seorang aktris memberi hati pada peran yang lahir dari budaya bangsanya sendiri terasa seperti love letter untuk Indonesia.
Horor dengan Napas Budaya: Jarang, Tapi Justru Itu yang Kita Rindukan
Agus Riyanto, sutradara sekaligus produser film ini, memilih jalur yang tidak mudah: menggabungkan horor dengan pelestarian budaya.
Ia tegas dalam misinya:
“Kita ingin mengangkat bahwa nilai budaya harus di atas nilai mistis yang tertinggal di dalamnya… wayang adalah budaya Indonesia yang indah yang harus diperkenalkan ke setiap generasi, bukan hal-hal mistis yang dapat disalahgunakan untuk hal buruk.”
Indah rasanya saat sebuah film horor tidak berhenti di rasa takut — tetapi justru mempertemukan kita kembali dengan jati diri bangsa.
Karena pada akhirnya, budaya itu warisan. Mistis hanyalah salah satu cerita yang menempel padanya.
Sudah waktunya kita merebut kembali esensi keindahan itu.
Perempuan, Budaya, dan “Suara” yang Sering Dijadikan Tumbal
Ada layer emosional yang mungkin akan terasa kuat bagi banyak perempuan ketika menonton film ini.
Citra, seorang perempuan dengan suara, bakat, dan mimpi — dijadikan tumbal atas ambisi orang lain. Betapa sering hal seperti ini terjadi di dunia nyata?
Perempuan pintar, berprestasi, bersinar… justru dipaksa diam agar orang lain bersinar lebih terang.
Film ini mungkin menggunakan latar padepokan dan ritual, tetapi metaforanya terasa modern:
Berapa banyak perempuan yang kehilangan suaranya demi memenuhi ekspektasi lingkungan?
Di Balik Teror, Ada Pesan untuk Pulang sebagai Manusia yang Lebih Utuh
“Danyang Wingit Jumat Kliwon” tidak menyuruh kita percaya atau takut pada danyang.
Film ini mengajak kita pulang dengan renungan:
- Apa arti warisan budaya bagi generasi kita?
- Sejauh apa kita rela menjual diri demi kekuasaan?
- Apa yang terjadi ketika manusia merasa dirinya bisa “mengalahkan alam”?
Kontributor: Sarah Limbeng
Editor: Permadani T.
