Dopamin: Kisah Cinta, Tekanan Hidup, dan Harga Kebahagiaan dalam Pernikahan Muda
Ketika cinta diuji kerasnya hidup dan godaan kebahagiaan instan, apa pilihanmu? Dopamin hadir dengan kisah yang dekat, tegang, dan membekas.
FILM


Fasamedia — Di kota-kota besar Indonesia, kisah pasangan muda yang menikah dengan penuh cinta lalu harus bergulat dengan realita hidup bukanlah hal asing. Banyak yang memulai rumah tangga dengan tabungan pas-pasan, pekerjaan tak menentu, cicilan menunggu, dan mimpi yang perlahan terasa berat untuk digenggam. Harapan akan “bahagia selamanya” sering kali diuji oleh tekanan hidup yang datang tanpa henti.
Kisah inilah yang menjadi denyut nadi film Dopamin—sebuah drama romantis-survival yang membalut realitas kehidupan pernikahan dengan nuansa thriller menegangkan.
Diproduksi oleh Starvision dan Karuna Pictures, film ini siap mengguncang perasaan penonton di bioskop mulai 13 November 2025. Lebih dari sekadar hiburan, Dopamin menjadi cermin bagi banyak pasangan muda: bahwa cinta saja tidak selalu cukup untuk bertahan.
Potret Pasangan Muda dan Realita Pernikahan Masa Kini
Dopamin mengikuti kisah Malik (Angga Yunanda) dan Alya (Shenina Cinnamon), pasangan yang baru menikah dan berusaha membangun kehidupan bersama dari nol. Mereka memulai pernikahan seperti kebanyakan orang: penuh cinta dan keyakinan bahwa selama saling memiliki, semuanya akan baik-baik saja. Namun realita berkata lain.
Malik kehilangan pekerjaan akibat PHK, tagihan menumpuk, dan kebutuhan hidup terus mendesak. Untuk bertahan, barang-barang harus dijual. Sementara Alya, sebagai istri, juga menanggung beban batin yang tak kalah berat—berusaha tetap kuat, namun pada saat yang sama merasa rapuh melihat suami yang makin tertekan.
Dalam banyak rumah tangga, fase ini adalah titik rawan—ketika cinta diuji oleh keadaan. Film Dopamin menangkap fase tersebut dengan sangat manusiawi, tanpa melebih-lebihkan atau meromantisasi kondisi sulit. Justru, penonton diajak untuk memahami bahwa perjuangan mempertahankan rumah tangga bisa terasa seperti bertahan hidup.
Momen yang Mengubah Segalanya
Pada hari yang sudah terasa buruk, Malik mengalami kegagalan wawancara kerja dan mobilnya mogok di tengah jalan. Pertolongan datang dari seorang pria asing yang kemudian menginap di rumah mereka. Awalnya terlihat seperti kebaikan kecil di tengah kesialan—hingga pagi tiba.
Tamu tersebut ditemukan tewas. Bersamanya, ia meninggalkan sebuah koper berisi uang miliaran rupiah.
Dari sinilah konflik utama Dopamin dimulai. Dari sinilah kebahagiaan yang terasa “dikirim semesta” itu mulai berubah menjadi sumber ketegangan.
Malik dan Alya berada pada situasi dilematis. Haruskah koper itu dilaporkan, atau diam-diam dijadikan jalan keluar hidup?
Keputusan mereka bukan hanya soal moral, tetapi juga soal harapan, rasa takut, dan usaha mempertahankan satu sama lain di tengah badai kehidupan.
Survival dalam Cinta: Ketika Kebahagiaan Memiliki Harga
Produser Chand Parwez Servia menekankan bahwa Dopamin bukan sekadar thriller, melainkan karya yang menyentuh sisi kemanusiaan.
“Kita bisa melihat bagaimana Malik dan Alya sebagai pasangan muda bisa saling mengandalkan, dan berusaha untuk bisa selamat dari kesulitan yang sedang mereka hadapi. Ini adalah film yang berbeda dan penuh adrenalin,” ujar Chand Parwez.
Ketegangan yang dibangun dalam film tidak hanya berasal dari ancaman eksternal, tetapi juga ketakutan internal dalam hubungan:
ketakutan kehilangan kepercayaan, kehilangan diri sendiri, hingga kehilangan orang yang dicintai.
Kebahagiaan instan yang datang dari koper uang itu diibaratkan seperti “dopamin”—memberi rasa senang yang cepat namun memicu konsekuensi besar. Dan seperti zat dopamin di tubuh manusia, kebahagiaan itu bisa membuat ketagihan, membuat ingin lebih, ingin terus memegang kendali, hingga lupa pada batas benar dan salah.
Humanis dan Relatable: Penonton Akan Lihat Diri Mereka di Layar
Sutradara sekaligus penulis naskah Teddy Soeria Atmadja—yang mengembangkan cerita selama lima tahun—menyebut Dopamin sebagai kisah tentang hubungan manusia yang sangat dekat dengan kehidupan banyak orang.
“Dopamin adalah film tentang survival, perjuangan untuk sebuah cinta. Pada dasarnya adalah relasi antara manusia,” ujar Teddy.
Tidak perlu mengalami kejadian ekstrem seperti menemukan koper misterius untuk merasa terhubung dengan film ini.
Yang membuat Dopamin kuat adalah kenyataan bahwa konflik Malik dan Alya adalah konflik banyak pasangan: soal ekonomi, tekanan sosial, ego, rasa lelah, dan keinginan untuk tetap bersama meski dunia tidak memberi ruang nyaman.
Film ini mengajak penonton bertanya:
Jika diberi jalan pintas menuju “bahagia”, apakah kita akan mengambilnya tanpa pikir panjang?
Angga & Shenina: Menyatukan Realita dan Emosi di Layar
Baik Angga Yunanda maupun Shenina Cinnamon merasa karakter mereka sangat dekat dengan kehidupan nyata.
“Ini adalah kondisi banyak orang. Up and down dari sebuah hubungan pernikahan… dan aku merasa kita bisa merefleksikan diri dari film Dopamin,” ujar Angga.
Shenina pun menekankan bahwa pondasi hubungan ada pada kebersamaan dalam membuat keputusan:
“Semuanya harus dijalankan bersama-sama, sebagai pasangan. Apa pun keputusan yang diambil, semuanya harus dibicarakan bersama dan menemukan titik tengahnya,” kata Shenina.
Chemistry keduanya dalam film ini bukan sekadar romantis, tetapi dewasa, matang, dan penuh lapisan emosi.
Apresiasi Penonton dan Catatan Prestisius
Saat terpilih sebagai closing film di Jakarta Film Week (JFW) 2025, Dopamin mendapat standing ovation. Banyak pengulas menyebut film ini “fresh, thrilling, dan intens menegangkan namun menyenangkan”.
Film ini turut didukung jajaran aktor berbakat seperti Anjasmara, Andri Mashadi, Teuku Rifnu Wikana, Nagra Pakusadewo, dan banyak lainnya.
Pada akhirnya, Dopamin bukan hanya tentang uang, cinta, atau ketegangan.
Film ini adalah refleks, bahwa kebahagiaan kadang datang dalam bentuk ujian, bukan hadiah. Dan setiap pilihan dalam hidup—sekecil apa pun—punya harga yang harus dibayar.
Film Dopamin tayang 13 November 2025 di bioskop seluruh Indonesia. Sebuah film yang akan membuat penonton bertanya, "Jika bahagia itu punya risiko, apakah kamu tetap akan mengejarnya?"
Kontributor: Sarah Limbeng
Editor: Permadani T.
