Surat Terakhir untuk Suamiku

Ketika cinta tak lagi menjadi tempat pulang, Senja memilih pergi tanpa menoleh. Dalam sunyi, ia menjemput kembali harga diri yang lama hilang di antara diam dan luka.

CERPEN

Permadani T.

5/31/20254 min read

Pict source: pexels.com

Pagi itu matahari baru saja mengintip dari balik jendela rumah di sebuah pedesaan yang asri. Aroma kopi menguar dari dapur sederhana, namun tidak ada percakapan. Tidak ada tawa. Tidak ada suara “Selamat pagi” yang biasanya menjadi pembuka hari pasangan yang saling mencintai.

Senja duduk di meja makan sendirian. Di tangannya ada sebuah dokumen yang sejak dua minggu lalu hanya bisa ia pandangi dengan mata berkaca. Bukan karena ragu, tapi karena rasa sakit yang tertimbun terlalu lama. Hari ini, ia akan mengirimkan surat gugatan cerai ke pengadilan. Bukan sebuah keputusan impulsif, tapi hasil dari luka yang menahun.

---

Enam tahun lalu, Senja dan Arga menikah dengan cinta yang besar. Mereka adalah pasangan LDM—Long Distance Marriage—sejak Arga diterima bekerja sebagai driver tetap di sebuah garasi ternama di Kota Pahlawan. Mereka sepakat, itu hanya akan berlangsung dua atau tiga tahun. Tapi kenyataannya, sudah enam tahun Arga tak kunjung mengajukan mutasi ke cabang terdekat atau mencoba mencari pekerjaan di kota yang sama dengan Dara.

“Ini demi masa depan kita,” ucap Arga dulu, setiap kali Senja mengutarakan rindunya.

Awalnya, Senja percaya. Ia menunggu dengan setia, menulis pesan setiap pagi, mengirim foto aktivitas sehari-hari, dan tak pernah lupa mengucap doa sebelum tidur. Namun, Arga berubah.

Lambat laun, balasan Arga hanya satu-dua kata. Kadang hanya emoji. Seringkali tidak membalas sama sekali. Saat Senja menelpon, hanya terdengar suara dingin. Atau malah tidak diangkat sama sekali. Berpuluh atau mungkin beratus panggilan tak ada yang direspon oleh suaminya.

Senja mencoba bertahan. Ia percaya setiap rumah tangga punya fase naik turun. Tapi ketika Arga mulai menghilang saat hari libur—yang seharusnya digunakan untuk pulang menemui istri—dan malah lebih sering berkumpul dengan teman-temannya untuk main game, Senja mulai merasa diabaikan. Padahal mereka hanya terpisah 2 jam perjalanan.

“Main game biasa kok, bukan judi,” kata Arga suatu kali, saat istrinya menegur.

Namun, Senja tahu, dari slip transferan bulanan yang makin mengecil, dari kabar burung yang sampai ke telinganya, dan dari nada bicara Arga yang semakin penuh emosi. Arga mulai terjebak dalam kebiasaan buruk: berjudi.

Senja mencoba bicara baik-baik.

“Tolong, Mas. Aku nggak minta banyak. Aku cuma minta kamu hadir. Kalau nggak bisa fisik, minimal secara emosi. Aku sendirian di sini. Aku butuh pasangan, bukan hanya status.”

Tapi yang ia terima hanya diam. Silent treatment yang menusuk. Yang membuat Senja merasa tidak lebih dari pengganggu.

---

Setiap malam, Senja menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Di situ ada senyum yang dulu begitu tulus. Namun kini, senyum itu terasa seperti lelucon pahit. Di balik senyum itu, ada perempuan yang sedang runtuh perlahan, mentalnya terkikis sedikit demi sedikit.

Ia mulai menulis jurnal harian. Di dalamnya, ia menumpahkan semua tangis yang tak pernah bisa ia ucapkan secara langsung.

Hari ke-918 tanpa kabar baik darimu. Aku belajar membungkam rasa rindu. Kau bahkan tak sadar bahwa aku mulai mati rasa.

Senja tidak tahu kapan tepatnya cinta itu mulai pudar. Mungkin saat Arga pulang kampung dan memilih menghabiskan waktunya berjam-jam dengan gawai dibandingkan dengan istrinya. Mungkin juga saat Arga tidak menjawab telepon selama seminggu penuh, tanpa penjelasan. Atau saat ia melihat chat terakhirnya hanya dibaca tanpa respons. Lagi dan lagi.

Perlahan, Senja merasa tidak layak dicintai. Ia merasa tidak cukup baik. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Tapi setelah berkonsultasi dengan psikolog, ia mulai memahami: ini bukan salahnya. Ia telah mencoba. Berkali-kali. Yang tidak mencoba adalah Arga.

Akhirnya, di malam yang sunyi, dengan tangan gemetar dan mata sembab, Senja mulai mengetik gugatan cerai. Ia tak memberitahu Arga. Ia sudah cukup menderita karena terlalu sering dianggap angin lalu. Dengan tekad kuat ia mengajukan gugatan ke pengadilan agama setempat.

---

Beberapa waktu kemudian, surat panggilan dari pengadilan sampai di tangan Arga. Ia menelepon. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“Kamu serius mau cerai?”

Senja menghela napas panjang. Ada getir di hatinya, tapi tak ada lagi air mata.

“Iya.”

Arga terdiam. Lalu terdengar tawa kecil.

“Cuma karena aku jarang pulang? Cuma karena aku nggak selalu jawab pesanmu? Itu bukan alasan buat cerai, Senja. Semua orang juga punya masalah.”

Senja menggigit bibir. Sakit hatinya seperti disiram bensin.

“Masalahnya bukan kamu jarang pulang. Tapi karena saat kamu punya waktu, kamu memilih temanmu daripada aku. Masalahnya bukan karena kamu nggak jawab pesanku, tapi karena kamu bahkan tidak menganggap aku layak mendapat perhatian.”

“Ah lebay. Kamu tuh terlalu baper. Aku cuma cari hiburan.”

“Hiburanmu merusak mentalku,” jawab Senja lirih. “Aku pernah percaya kamu berubah. Aku menunggu. Tapi aku capek jadi satu-satunya yang berjuang. Aku sudah selesai.”

Telepon ditutup. Tidak ada kata maaf. Tidak ada permintaan untuk memperbaiki. Hanya ego yang menggelegar di ujung sana.

Senja menangis. Bukan karena masih cinta, tapi karena akhirnya ia bisa menyuarakan isi hatinya tanpa takut disalahkan.

---

Perceraian itu berjalan cepat. Tanpa drama. Tanpa rebutan harta. Karena tidak banyak yang bisa diperebutkan dari pernikahan yang hanya berisi kesepian.

Beberapa teman mempertanyakan keputusannya.

“Kenapa kamu nggak sabar sedikit lagi?”

“Kalau dia kerja keras, itu artinya dia sayang sama kamu kan?”

Senja hanya tersenyum. Tidak semua hal bisa dijelaskan kepada orang yang tidak mengalami. Yang terlihat dari luar adalah rumah tangga yang masih utuh. Tapi yang ia rasakan di dalam adalah kehampaan yang membunuh perlahan.

Ia tidak ingin mati dalam hubungan yang tidak membuatnya hidup.

---

Setahun setelah perceraiannya, Senja jauh lebih tenang. Ia kembali menulis. Mengajar di komunitas literasi. Mengisi seminar tentang kesehatan mental perempuan. Banyak perempuan curhat padanya tentang suami yang abai, kekerasan emosional yang dibungkam atas nama sabar, dan cinta yang dipaksakan hanya karena takut stigma "janda".

Senja berkata kepada mereka, “Jangan bertahan karena takut sendirian. Karena yang lebih menyakitkan adalah bersama seseorang yang membuatmu merasa sendirian.”

---

Suatu hari, Senja mendapat pesan dari nomor yang sangat dikenalnya.

"Aku salah. Kamu bener. Tapi sekarang semuanya udah telat ya?"

Senja membaca pesan itu lama. Ia tidak membalas. Bukan karena dendam, tapi karena ia sudah tidak punya ruang untuk masa lalu. Ia memutuskan untuk membebaskan diri dari apa pun yang pernah membuatnya kehilangan diri sendiri.

Hari itu, ia menulis lagi di jurnalnya.

Hari ke-365 pasca perceraian. Aku hidup. Aku waras. Aku bahagia. Ternyata, melepaskan tidak sesakit yang dulu kupikirkan. Yang lebih menyakitkan adalah tetap tinggal di tempat yang mengikis jiwaku pelan-pelan.

Editor: Permadani T.