Vasektomi: Saatnya Pria Ikut Bertanggung Jawab dalam Keluarga Berencana
Masih menganggap vasektomi sebagai hal yang tabu? Padahal, dibandingkan metode KB perempuan yang penuh risiko, vasektomi jauh lebih ringan dan minim efek samping. Sudah saatnya pria ikut ambil peran dalam perencanaan keluarga, bukan hanya jadi penonton.
LIFESTYLE


Pict source: pexels.com
Belakangan ini, media sosial ramai membicarakan vasektomi. Topik yang dulunya hanya dibahas dalam ruang tertutup atau forum medis, kini ramai diperbincangkan netizen dari berbagai kalangan.
Ada yang mendukung, ada pula yang mencibir. Sebagian menyebutnya solusi adil dalam keluarga berencana, sebagian lain justru menganggapnya tabu, bahkan menuduhnya sebagai bentuk “menolak kodrat pria”.
Namun, mari kita pelan-pelan kupas. Benarkah vasektomi seburuk itu? Atau justru kita selama ini terlalu lama memelihara mitos dan stigma?
Apa Itu Vasektomi?
Vasektomi adalah prosedur medis untuk mencegah kehamilan dengan cara memutus saluran sperma (vas deferens) yang membawa sperma dari testis ke uretra. Dalam istilah sederhana, sperma yang diproduksi tidak lagi keluar saat ejakulasi. Artinya, pria tetap bisa berhubungan seksual seperti biasa, hanya saja tidak lagi menyebabkan kehamilan.
Prosedur ini dilakukan oleh tenaga medis profesional, biasanya memakan waktu 10–30 menit, dan tergolong tindakan ringan. Beberapa metode vasektomi bahkan tidak memerlukan jahitan (non-scalpel vasectomy), sehingga minim risiko infeksi dan pemulihan pun cepat.
Mengapa Vasektomi Jadi Topik Hangat?
Dalam beberapa bulan terakhir, diskusi tentang vasektomi mencuat di berbagai platform. Hal ini dipicu oleh sejumlah influencer dan tokoh publik yang secara terbuka membagikan informasi bahwa masih ada keluarga yang memiliki banyak anak namun dengan keterbatasan ekonomi. Sehingga hak anak tidak sepenuhnya bisa terpenuhi.
Ada pula kampanye-kampanye edukasi dari komunitas kesehatan reproduksi yang mendorong kesadaran akan pentingnya pembagian peran dalam kontrasepsi. Tak sedikit perempuan yang menyuarakan kelelahan mereka karena harus selalu menjadi pihak yang berkorban dalam urusan KB.
Namun, seperti biasa, perubahan sudut pandang sosial tidak selalu berjalan mulus. Banyak pria yang merasa keberatan, bahkan terancam, dengan wacana vasektomi. Tidak sedikit yang mengaitkan vasektomi dengan hilangnya “kejantanan” atau takut dianggap mandul.
KB: Kenapa Selalu Perempuan yang Menanggung?
Selama bertahun-tahun, praktik kontrasepsi atau KB (keluarga berencana) di Indonesia didominasi oleh perempuan. Pilihan yang tersedia untuk perempuan pun banyak: pil KB, suntik, implan, IUD (spiral), hingga steril.
Namun, sebagian besar metode tersebut berdampak langsung pada tubuh perempuan. KB hormonal misalnya, seringkali menyebabkan perubahan suasana hati, naik-turunnya berat badan, hingga gangguan menstruasi. Bahkan beberapa efek sampingnya bisa lebih serius, seperti pembekuan darah atau gangguan kesuburan jangka panjang.
Di sisi lain, metode non-hormonal seperti IUD pun tidak lepas dari efek samping: nyeri saat haid, flek berkepanjangan, bahkan risiko infeksi jika tidak dipasang dengan benar.
Tak sedikit perempuan yang menjalani KB bukan karena ingin, tetapi karena "tidak ada pilihan lain". Pria tidak mau menggunakan kondom, tidak bersedia berbagi tanggung jawab, bahkan tak mau sekadar mencari tahu apa itu vasektomi.
Mengapa Vasektomi Justru Lebih Aman?
Vasektomi, meskipun bersifat permanen, justru memiliki risiko yang relatif rendah jika dibandingkan dengan metode KB pada perempuan. Berikut beberapa keunggulannya:
• Minim Efek Samping: Tidak ada perubahan hormon, tidak memengaruhi libido, dan tidak memengaruhi kemampuan ereksi maupun ejakulasi.
• Prosedur Ringan: Dilakukan dalam waktu singkat, biasanya tanpa rawat inap.
• Efektivitas Tinggi: Lebih dari 99% efektif mencegah kehamilan.
• Pemulihan Cepat: Kebanyakan pria dapat kembali beraktivitas normal dalam 1-2 hari.
Jadi, kalau ditanya mana yang lebih membebani: vasektomi atau KB hormonal pada perempuan? Jawabannya cukup jelas.
Mitos yang Perlu Diluruskan
Sejumlah mitos membuat banyak pria takut atau enggan mempertimbangkan vasektomi. Mari kita luruskan beberapa di antaranya:
1. Vasektomi membuat pria impoten.
Salah. Vasektomi tidak memengaruhi produksi hormon testosteron, tidak memengaruhi kemampuan ereksi atau gairah seksual.
2. Vasektomi membuat ejakulasi terasa berbeda.
Salah. Cairan sperma sebagian besar berasal dari cairan prostat dan vesikula seminalis. Sperma hanya menyumbang kurang dari 5% volume ejakulasi. Artinya, tidak ada perubahan yang terasa signifikan.
3. Vasektomi bisa dibatalkan kapan saja.
Sebagian benar. Memang ada prosedur reversi vasektomi, tetapi tidak selalu berhasil. Jadi, sebaiknya hanya dilakukan jika keputusan sudah benar-benar matang.
4. Vasektomi sama dengan kebiri.
Salah besar. Kebiri adalah pengangkatan testis atau pemblokiran hormon seks. Vasektomi hanya menghentikan aliran sperma, bukan memengaruhi fungsi seksual.
Suara Perempuan: "Kami Lelah Sendiri"
Salah satu alasan mengapa topik vasektomi menjadi viral adalah karena banyak perempuan akhirnya angkat suara. Mereka menyampaikan kelelahan dan frustrasi karena harus terus menerus menjadi pihak yang mengatur, mengingatkan, dan menjalani prosedur kontrasepsi.
Berikut beberapa curahan hati perempuan yang disuarakan secara anonim dalam berbagai forum:
“Suami saya selalu bilang, ‘Itu kan urusan kamu, kamu yang hamil’. Tapi dia lupa, saya juga punya tubuh yang capek karena KB.”
“Saya pakai IUD, efeknya haid tidak berhenti selama 4 bulan. Suami saya cuma bisa bilang ‘Sabar ya’.”
“Kalau boleh milih, saya ingin suami saya vasektomi. Tapi dia langsung marah dan bilang saya jahat.”
Pernyataan-pernyataan ini bukan hanya keluhan. Ini adalah cermin dari ketimpangan tanggung jawab yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Padahal, membentuk keluarga adalah tanggung jawab bersama.
Mengubah Pola Pikir: Dari “Takut Mandul” ke “Tanggung Jawab Moral”
Masih banyak pria yang merasa bahwa kesuburan adalah simbol kejantanan. Bahwa bisa punya banyak anak adalah bentuk keperkasaan. Tapi di era modern ini, mungkin sudah saatnya kita mengganti ukuran kejantanan.
Bukan lagi tentang berapa banyak anak yang bisa dibuat, tapi seberapa besar tanggung jawab yang bisa diemban.
Vasektomi tidak mengurangi kejantanan, justru menunjukkan keberanian untuk berpikir jangka panjang. Untuk merawat istri, menjaga kesehatan keluarga, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan.
Toh, tidak semua pasangan ingin punya banyak anak. Banyak pula yang sudah merasa cukup dengan satu atau dua anak. Maka, vasektomi bisa jadi solusi jangka panjang yang aman dan efektif.
Beberapa pria yang sudah menjalani vasektomi berbagi pengalamannya di media sosial dan forum-forum diskusi. Mayoritas dari mereka menyatakan tidak ada yang berubah secara seksual, justru kehidupan rumah tangga menjadi lebih harmonis.
Berikut kutipan dari salah satu testimoni:
“Setelah vasektomi, istri saya tidak lagi stres soal KB. Kami bisa lebih menikmati hubungan, tanpa rasa takut. Dan saya merasa bangga bisa berkontribusi lebih dalam perencanaan keluarga.”
Tentu, tidak semua pria siap atau bersedia menjalani vasektomi. Tapi yang terpenting adalah adanya kesadaran bahwa kontrasepsi bukan hanya urusan perempuan.
Membicarakan vasektomi bukan soal mendorong semua pria melakukannya. Ini tentang membuka ruang dialog, memberikan pemahaman, dan menghapus stigma.
Setiap pasangan tentu memiliki pilihan masing-masing. Ada yang nyaman dengan KB hormonal, ada yang menggunakan kondom, ada yang memilih metode alami. Tapi semua pilihan akan lebih adil jika dibicarakan bersama, dan dilandasi oleh tanggung jawab yang setara.
Vasektomi bukan sekadar prosedur medis. Ia adalah simbol dari pembagian tanggung jawab yang adil dalam keluarga. Bahwa bukan hanya perempuan yang harus menanggung semua beban kontrasepsi. Bahwa laki-laki pun bisa, dan seharusnya, ikut bertanggung jawab.
Di tengah gempuran informasi yang makin terbuka, masyarakat kita harus lebih bijak menyikapi perubahan. Stigma hanya akan bertahan jika kita memilih untuk diam.
Kini saatnya bicara. Kini saatnya membagi beban. Kini saatnya, vasektomi tidak lagi dianggap tabu.
Editor: Permadani T.